Cemas
Dipenghujung masa perkuliahan, hidup memang sedikit nestapa. Selalu berandai-andai akan banyak hal, namun respon benak selalu menggeleng. Terlalu berisiko katanya. Berharap pada sesuatu yang jelas sulit untuk diwujudkan. Hari-hari dilalui dengan begitu saja. Tanpa arah yang jelas. Mengikuti aliran air yang mengalir dan entah akan berakhir di muara mana. Aku selalu terbangun sebelum sinar mentari beranjak ke langit. Sudah menjadi rutinitas keseharian bangun lebih dini. Mandi, gosok gigi, dan kemudian menggendong tas menuju tempat dimana mimpi dirajut.
Jujur saja semakin hari semakin membosankan. Seperti tidak ada gairah yang memecut diri untuk bangkit dari ketidaktauan. Materi, petuah, dan nasihat yang diutarakan tak lebih bagai pengantar menuju alam mimpi, saking enggannya motivasi menghampiri. Belum lagi soal keberhasilan kawan yang berprestasi, yang berhasil mendapatkan kursi untuk belajar di barat sana. Yang katanya tempat dimana teknologi dan pengetahuan bertumbuh dengan pesat. Tidak hanya satu, dua atau bahkah lebih kawan yang mendapatkan kesempatan yang sama, hanya saja penempatannya berbeda.
Siapapun ingin pergi ke barat. Barat menyimpan keistimewaan tersendiri bagi bangsa timur atau tenggara. Meskipun kebanyakan dari mereka pernah merampas dan mengeruk hak-hak kita, akan tetapi mereka punya segalanya yang tidak kita miliki. Begitu eksotis dan memanjakan mata saat memandang sebuah benua biru yang penuh dengan harapan. Motivasi terhampar disepanjang jalan. Ingin berlama-lama saja rasanya disana. Sebagai bagian dari bangsa tenggara dengan kulit sawo matang, yang selalu berharap mendapatkan kesempatan yang sama dengan pemenang beasiswa, apakah insecure diperbolehkan?
Sependek yang saya tau, insecure bisa berdampak pada dua respon yang berbeda. Destruktif dan Konstruktif. Pertama izinkan saya untuk menjelaskan sedikit tentang insecure yang berdampak pada respon destruktif. Saya rasa, kebanyakan orang pernah berharap bisa menjadi seseorang yang lebih baik dari pada orang lain atau orang disekitarnya. Hal ini terbilang wajar, karena masing-masing orang boleh menentukan ambisinya asalkan tidak merugikan orang lain. Namun bagaimana jadinya apabila keinginanya untuk menjadi lebih baik tidak terwujud? Saya sendiri pernah mengalami kondisi tersebut, atau mungkin beberapa orang juga pernah merasakannya. Saat itu ingin sangat saya menampar dan mengumpat pada diri sendiri, karena berusaha mengalahlan pesaing terhebat yang untuk bersejajar dengannya saja tidak bisa. Perenungan malam terus terjadi, dan menyalahkan diri sendiri adalah tidak terelakan. Terus terjadi, sampai dimana tidak ada motivasi yang mampir. Ia telah pergi, muak katanya, membersamai seseorang yang sulit berdamai dengan kekalahan.
Berbeda dengan respon yang bersifat konstruktif. Perasaan insecure itu tak ubahnya bagai motivasi yang membakar hasrat untuk terus melaju. Tidak menjadikan sesuksesan orang lain sebagai hambatan, melainkan jembatan menuju jalan yang sama dengan hasil yang berbeda. Sehingga menghasilkan motivasi yang begitu kuat sampai berani membelah lautan yang penuh dengan badai. Hingga sampai di dermaga dengan motivasi yang sama namun kepribadian yang berbeda. Siapapun berhak untuk menjadi lebih baik dan melambaikan tangan pada mimpi buruk. Tidak perlu menjadi orang lain, setiap dari kita punya kesuksesan yang berbeda. Coba sesekali ingatlah petuhan seorang pepatah, “Jika orang lain bisa, lantas kenapa kamu harus bisa juga?”.
Pada intinya, menurut saya insecure diperbolehkan, asal bersifat konstruktif, sehingga memberikan banyak manfaat pada perkembangan diri.
Komentar
Posting Komentar