Cerpen : Pulang

 

“Pah, papah kapan pulang?” Tanya si kecil dari balik sambungan telefon.

Sudah lebih dari sebulan aku belum menengok keadaan si kecil di Desa. Kini  ia bertumbuh layaknya anak kecil pada umumnya. Wajahnya semakin tampan. Mirip seperti papahnya. Umurnya pun telah menginjak lima tahun. Itu artinya tahun depan ia sudah bisa bersekolah ditaman kanak-kanak.

“Uhukk..uhukk..Pahhh?” Tanya si kecil sekali lagi.

“Ehh..iya nak. Maaf yaa Papah belum bisa pulang dalam waktu dekat” Jawabku dengan nada menyesal.

Tidak ada tanggapan, hanya ada sekali hembusan nafas  pertanda kecewa.

“Tapi Papah janji, jika pekerjaan Papah sudah selesai, Papah akan pulang secepatnya”

“Janji seorang pelaut?” Ujar si kecil, memastikan.

“Janji seorang pelaut!” Balasku.

Percakapan usai setelah satu sampai dua kalimat terucap. Si kecil nampak senang setelah aku mengutarakan janji seorang pelaut. Janji yang kuat seperti jangkar. Janji yang haram jika diingkari. Lalu ia lebih dahulu mematikan telfon dengan tawa yang renyah.

Aku masih terduduk sambil menggengam Handphone ditangan kanan di bawah tenda both yang melindungi dari panasnya Ibu Kota. Cukup banyak pikiran yang menghantuiku akhir-akhir ini. Terutama penyakit si kecil yang saban hari semakin memburuk. Ia sampai harus dilarikan ke rumah sakit sebulan lalu. Dan dokter mendiagnosa, bahwa si kecil mengidap Pneumonia.

Pneumonia merupakan penyakit yang cukup menyakitkan. Infeksi akut pada penyakit ini biasanya menyerang paru-paru. Penyakit yang lebih dikenal dengan paru-paru basah ini bisa menyerang segala kelompok usia. Namun kebanyakan korban meninggal dari penyakit ini biasanya adalah anak-anak dibawah lima tahun. Bahkan menurut data dari UNICEF terdapat sekitar 800.000 anak meninggal karena pneumonia setiap tahunnya.

“Hey Ar, ayo kembali kerja” Titah Pak Manajer.

“Ehh iyaa Pak siap” Jawabku dengan gelagapan. Akibat penyakit yang diidap di kecil, aku menjadi sering melamun sewaktu bekerja. Beruntung Pak Manajer mengerti keadaanku, sehingga ia beberapa kali memberikan izin untuk mengangkat telfon dari kelurga di desa saat bekerja.

“Masih banyak brosur yang harus kita sebar” Ucap Pak Manager.

Sebagai lulusan sastra di kampus terbaik Ibu Kota, seharusnya aku bisa mengandalkan ijazah untuk kemudian mendapatkan pekerjaan dengan gaji layak. Tapi sayangnya tidak banyak kantor yang membuka lowongan pekerjaan saat krisis pandemi seperti ini. Malahan pengurangan karyawan secara besar-besaran terjadi dibanyak kantor akibat pandemi yang tak kunjung henti. Dan sialnya, aku menjadi salah satu dari sekian banyak korban pengurangan karyawan. Ternyata kuliah di kampus besar tidak menjamin bahwa hidup pasca kuliah akan baik-baik saja.

Hingga pada akhirnya tuntutan kehidupan membuat ku harus mencari pekerjaan dengan segera. Karena ada istri dan buah hati yang perlu dinafkahkan. Tidak peduli bekerja sebagai apa, yang terpenting halal dan bisa dipertanggungjawabkan. Dan disinilah aku, berdiri bermandikan keringat dibawah teriknya matahari hari Ibu Kota. Menyebar brosur dan memberikan penawaran yang menarik kepada orang-orang yang lalu lalang.

Berprofesi sebagai sales di sebuah kantor Ibu Kota tidaklah mudah. Terkadang hari-hari kulalui tanpa mendapat klein satu pun. Beberapa orang memang berminat mendengarkan presentasi singkatku, namun setelahnya mereka pergi tanpa memperlihatkan ketertarikan sedikitpun. Memang meskipun tidak berhasil memikat klein, aku tetap mendapatkan gaji. Tetapi tidak banyak. Bonus berhasil menarik klein lah yang membuat gaji menjadi jauh lebih cukup.

Malam kemarin, istri menelfon tepat setelah aku membersihkan badan yang penuh dengan keringat.

“Alhamdulillah Mas, kondisi si Kecil semakin membaik” Ucap istriku bersyukur.

Aku melepas puh, turut bergembira, mendengar kabar baik ini.

“Semoga kondisinya terus membaik yaa hingga pulih” Balasku, tak kalah bersyukur.

“Alhamdulillah. Doakan Mas ya semoga bisa mendapatkan banyak rezeki dan bisa pulang secepatnya”

Istriku mengangguk tak lupa berucap “Aaminn”. Setelah satu dua kalimat percakapan kami usai. Istri harus menyuapi si kecil makan malam, sedangkan aku masih memiliki beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.

Telfon dadakan dari istri malam itu memang membawa kabar baik yang melegakan hati. Namun tidak untuk hari lusa kemudian. Ditengah padatnya jalan protokol Ibu Kota kala siang dan ramainya orang yang berlalu-lalang. Istri menelfon secara tiba-tiba dan nampak aura penuh dengan kecemasan.

“MAS….si kecil kambuh lagii” Istriku memberitahu seraya menangis hebat.

“Sedari pagi demannya belum juga mereda, ditambah tadi si kecil mengalami sesak nafas yang hebatt”

Aku terdiam, badanku lemas, dan seketika pikiranku kacau. Dari balik telefon istriku masih terdengar menangis sesegukan. Khawatir sangat pada si kecil yang  kondisinya semakin payah.

“Okee kamu tenangin dulu diri kamu, dan berdoa semoga si kecil segera membaik” Ucapku mencoba menenangkan.

“Mas akan pulang sekarang juga”

Istriku mengangguk meski masih terdengar isak segukan. Dengan kondisi yang juga tak kalah khawatir, segera aku menghampiri pak Manajer yang sedang sibuk memeriksa dokumen. Beruntung aku dipekerjakan oleh bos yang baik hati.

“Pulanglah, aku beri izin kau sampai kondisi putramu pulih total” Kata Pak Manajer sembari menepuk-nepuk punggungku, berusaha menenangkan.

“Terima kasih Pak, terima kasih banyak!” Balasku.

Setelahnya segera aku berlari menuju terminal Kota. Dengan masih mengenakan pakaian kantor dan tidak membawa pakaian salin sama sekali. Tapi dalam kondisi genting seperti ini, siapa peduli. Kondisi si kecil yang menjadi prioritas utama. Butuh 30 menit dengan menaiki bus Trans dari pusat kota menuju terminal kota. Jalanan di kala siang cukup lenggang, tidak separah saat pagi atau sore yang nampak kendaraan mengantri sampai berekor-ekor.

Sesampainya diterminal, tidak sulit mencari bus dengan tujuan akhir Desa kabupaten Barat. Segera ku naik lalu menghempaskan tubuh penuh dengan peluh di kursi bus yang masih lenggang. Belum banyak penumpang yang mengisi kursi-kursi kosong. Sampai-sampai beberapa pedagang asongan juga nampak leluasa menjajakan dagangannya yang beraneka ragam. Tapi tak sedikitpun ada hasrat untuk makan meski aku belum menelan apapun sedari pagi.

Bis berangkat setengah jam kemudian setelah sebagian kursi terisi. Perjalanan ini memakan waktu yang cukup lama, 4 jam. Sebelum akhirnya tiba di terminal Desa Kabupaten Barat. Pikiranku memang sedang kacau sedari tadi, kabar yang mengejutkan dari si kecil membuat diri ini semakin khawatir. Tak usainya aku merapalkan doa, sembari berharap semoga tidak ada hal buruk yang menimpa si kecil.

Setelah 3 jam perjalanan, bisa sampai di Kabupaten Barat Tenggara yang mana bersebelahan dengan Desa Kabupaten Barat. Itu artinya, tak lama lagi bis akan segera sampai di tujuan akhir. Aku cukup bersyukur, selama perjalanan tidak terdengar lagi kabar buruk yang menimpa si kecil. Mungkin kondisinya sudah semakin membaik. Harapku dalam hati.

Namun tiba-tiba Handphone ku berdering, istri menelfon.

“KONDISI SI KECIL SEMAKIN MEMBURUK MASS!” Kata Istri, panik.

“Kamu sudah dimana? Segera pulang mas..”

Ternyata dugaan ku salah. Aku yang sedari tadi berusaha tenang, kini semakin tidak karuan. Pikiranku kalut memikirkan banyak kemungkinan. Ditambah kepanikan yang semakin mendera.

Belum sempat aku menjawab sang istri, tiba-tiba layar Handphone ku gelap. Berusaha aku berkali menekan tombol power, tapi sayang Handphone tak urung menyala. Ternyata baterai Handphone ku habis.

Aku gelagapan, tidak tau harus melakukan apa. Ditambah kondisi jalan sedang mengalami kemacetan. Arus kendaraan padat.

“Bang, bisa lebih cepatt gak bawa Busnya?” Teriakku pada supir bus.

Supir bus tidak menoleh, musabab fokus dengan jalanan. Keneknya yang menjawab.

“Engga bisa bang, jalanan lagi macet”

Aku mengaduh, kesal dengan situasi ini. Disaat kondisi yang sedang genting, baterai Handphone habis, juga jalanan padat dengan kendaraan. Tanpa pikir Panjang, aku segera berlari menuju pintu bus, memberikan ongkos kepada kenek, lalu menghampiri tukang ojek yang sedang mangkal di pengkolan.

“Mang, tolong antar saja ke rumah sakit anak Barat” perintahku kepada tukang ojek.

Tanpa banyak tanya, ia memberikan helm, menyalakan motor, lalu menarik gas sekencang mungkin. Tidak banyak pergerakan yang bisa dilakukan oleh kendaraan roda empat atau lebih. Namun tidak untuk roda dua. Samping kiri jalan yang lenggang memudahkan kendaraan roda dua dengan leluasa menyalip kendaraan roda empat yang sedang tertambat lesu.

Butuh 45 menit mang ojek mengendarai motornya menghindari kemacetan lalu tiba di rumah sakit anak barat. Sesampainya ku kembalikan helm dan memberikan ongkos yang cukup, kemudian berlari ditengah ramainya rumah sakit. Sebelum Handphone ku mati, istriku sempat mengirim pesan, kalau sikecil di rawat di IGD.

Setelah berlarian ditengah kerumunan pengunjung rumah sakit, nampak seorang perempuan yang telah menemani hari-hariku selama enam tahun terakhir duduk lesu dengan air mata yang terus terurai didepan pintu IGD. Segera kumpiri lalu kudekap dalam pelukan yang hangat.

“Aku sudah disini, kamu gak usah takut” Ucapku memecah lenggang.

“Mas…” Istri mendokak ke arahku dengan raut muka sedih. Tak nampak ada harapan dipelupuk matanya.

“Si Kecil sudah gak ada. Dia sudah pulang” Tangisnya tambah pecah, memenuhi Lorong kosong ruang IGD.

Aku termangu, seperti tidak siap mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut istriku.

“Kamu bercanda kan yan?” Tanyaku mencoba menghibur diri.

“Si Kecil pasti baik-baik aja kan?”

Ia menggeleng dengan air mata yang terus terurai. Ku sandarkan tubuh lemas istriku ke tembok, lalu memasuki ruang IGD. Ruangan tersebut terasa lenggang. Hanya ada seorang perawat yang sedang menyelimuti tubuh seorang anak kecil yang sudah terkulai tak bernyawa.

Tubuhku seketika lemas melihat pemandangan tersebut. Air mata perlahan keluar dengan malu sebelum akhir terjun deras.

“Sus, si kecil baik-baik saja kan?”

Suster tersebut menoleh, “Maaf ya Pak, kami sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi takdir berkata lain. Si Kecil sudah berpulang” Suster terlihat menyesal.

Seperti mimpi rasanya. Setelah mengetahui si kecil telah berpulang karena tak kuasa menahan sesak napas yang hebat. Hujan terdengar deras diluar, bersamaan dengan tumpahnya air mata yang membasuh wajah. Ku dekap si kecil yang telah mengisi hari-hari penuh tawa dan kebahagiaan. Tidak ada lagi si kecil hari ini, esok, dan selamanya.

Komentar

Postingan Populer